Minggu, 31 Agustus 2014

Tayub Selalu Hadir di Dukuhan Selepas Akhir Musim Hujan

Suasana tayuban di Dukuhan, Sendangagung, Minggir Sleman
Ada hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam acara upacara kirab Ki Ageng Tunggul Wulung di Dukuhan, Sendangagung, Minggir, Sleman, Yogyakarta, yakni acara tayuban. Menurut Perno bin Sopermono, pemangku adat dan sesepuh dusun, tayuban disukai oleh Ki Ageng Tunggul Wulung di masa hidupnya. Ki Ageng Tunggul Wulung dianggap sebagai leluhur dan cikal bakal dusun tersebut. Karena itulah sosoknya sangat dihormati di wilayah tersebut.

Peringatan akan tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung yang dilaksanakan dengan serangkaian acara itu dilakukan pada setiap habis masa panen rendhengan (akhir musim hujan) yang biasanya jatuh pada akhir bulan Juli-Agustus. Untuk tahun 2014 ini acara tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 22 Agustus selepas shalat Jumat. Acara itu dipandang sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus bentuk permohonan kepada-Nya agar di waktu selanjutnya masyarakat tetap beroleh berkat kasih Tuhan sehingga dapat hidup tenteram dan makmur.

Para penari tayub, pengibing, dan tokoh masyarakat Dukuhan
Tayub sendiri menurut beberapa ahli berasal dari kata ditata kareben guyub (ditata supaya rukun). Ada pula yang menyatakan berasal dari kata mataya dan guyub. Mataya berarti tari dan guyub berarti rukun. Namun antropolog Prof Dr Poerbotjaroko menyatakan bahwa tayub berasal dari kata sayub yang artinya adalah minuman keras atau dapat juga berarti makanan yang sudah basi. Oleh karena itu tayub merupakan tarian yang berkaitan erat dengan minuman keras. Hal ini diduga berkaitan erat pula dengan budaya Tantrisme di masa lalu.

Tayub juga dipandang sebagai bentuk taru kesuburan, tari yang menceritakan atau menyimbolkan tentang meng-ada, bertumbuh, berbuah, dan kembali ke sangkan paraning dumadi (kembali ke tempat asal mula), yang juga diharapkan terjadi pada tanaman dan ternak. Bahkan pada harmonisasi alam semesta, kesehatan, dan kemakmuran lahir batin.

Penari tayub: Tiovani dan Sipe
Kesuburan dan kemakmuran adalah hal yang saling terkait. Tidak ada kesuburan berarti tidak ada kemakmuran. Kemakmuran juga berkait erat dengan kesehatan dan kesejahteraan. Oleh karenanya hal demikian selalu diharapkan ada dan terus meng-ada untuk keberlangsungan kehidupan itu sendiri.

Namun, orang awam lebih melihat tayub sebagai bentuk tari pergaulan semata, tidak melihat esensi lambang atau simbol yang tersirat di dalamnya. Bahwa unsur minman keras yang selalu mengiringi Tayub bukanlah diarahkan pada kenikmatan fisik (pengecapan) semata. Namun bahwa kondisi trance oleh minuman dipercaya sebagai salah satu cara orang berkomunikasi (ekstase) dengan hal yang tidak tampak oleh mata telanjang. Sekalipun demikian, tayub juga tidak meninggalkan keindahan sisi-sisi tari (koreografi) dan iringan musik (gamelannya).

Rubiyanti penari tayub sakral yang tidak boleh diibing/disertai penari pria
Tayuban di Dukuhan dalam rangka memperingati Ki Ageng Tunggul Wulung ini melibatkan 3 orang penari yakni Sipe, Tiovani, dan Rubiyanti. Mereka menarikan Tayub dengan sentuhan kekinian mengingat mereka memperoleh ilmu tari di bangku sekolah, di samping juga secara turun-temurun. Sementara para tandhak atau pengibing tayub memiliki keterampilan menandak di masa lalu secara turun-temurun atau bahkan otodidak.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Sabtu, 02 Agustus 2014

Pelabuhan Sunda Kelapa Pernah Menjadi Poros Maritim

Salam tiga jari Persatuan Indonesia

Selepas ditetapkan oleh KPU menjadi Presiden RI terpilih untuk masa jabatan 2014-2019 pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2014, Joko Widodo langsung bergegas menuju anjungan Pelabuhan Sunda Kelapa. Secara simbolis ia meletakkan dasar perjuangan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Semangat gotong royong itulah yang akan membuat bangsa Indonesia bukan saja akan sanggup dalam menghadapi tantangan, tapi juga dapat berkembang menjadi poros maritim dunia, locus dari peradaban besar politik masa depan kita,” ucap Jokowi di atas kapal Pinisi “Hati Buana Setia” didampingi Jusuf Kalla.

Semangat gotong royong itu menjadi penting. Oleh karena menurut Jokowi kesukarelaan telah lama mati suri. Kini coba dihadirkan dalam semangat baru dalam kerangka politik baru sebagai peristiwa kebudayaan.

"Dan inilah saatnya bergerak bersama, mulai sekarang petani kembali ke sawah, nelayan kembali melaut, anak-anak kita kembali ke sekolah, pedagang kembali ke pasar, buruh dan pekerja kembali ke pabrik, dan karyawan kembali bekerja di kantor. Lupakanlah nomor 1 lupakanlah nomor 2, marilah kita kembali ke Indonesia yang satu, Indonesia Raya. Kita kuat karena bersatu, kita bersatu karena kita kuat. Salam tiga jari salam persatuan Indonesia,” imbuhnya.

Pemilihan lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa tentu beralasan. Saat dalam perjalanan di atas speed boat Jokowi menegaskan bahwa Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan simbol dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Memang pada masa lalu Pelabuhan Sunda Kelapa yang dikenal dengan sebutan Bandar Empat Zaman memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia: zaman Hindhu, Islam, kolonial, dan Indonesia merdeka.
Aktivitas jual beli hasil bumi terutama berupa rempah-rempah hilir mudik di muara pelabuhan yang pada zaman Tarumanegara abad V disebut Sundapura, yang artinya pintu masuk. Ya pintu masuk kerajaan Tarumanegara yang dulu pernah membuat sungai buatan Bhagasasi untuk mengairi sawah warga sekaligus sarana transportasi dari pedalaman menuju muara samudera.

Saat Sunda Pajajaran abad XIII dipegang Hyang Surawisesa keberadaan pelabuhan Calapa dikukuhkan dengan ditandatanginya perjanjian dagang antara Pajajaran dan Portugis. Dimaklumkan perjanjian itu dalam Prasasti Padrao bertanggal 15 Agustus 1522. Keberadaan pelabuhan tambah ramai dengan datangnya para pedagang dari Tiongkok, Jepang, India dan bahkan dari Timur Tengah.

Perjanjian itu rupanya membuat gusar penguasa Demak. Maka diutuslah pasukan bersama-sama dengan Cirebon untuk menguasai Sunda Kelapa. Setelah melalui berbagai serangan akhirnya Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa pada tahun 1526. Tercatat 3.000 rumah rusak. Syahbandar Wak Item beserta puluhan pegawai pelabuhan tewas.

Prasasti Padrao
Nama Sunda Kelapa kemudian diganti dengan Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527. Fatahillah tercatat sebagai penguasa pertama. Saat itu Sunda Kelapa dibawah hegemoni Cirebon. Tahun 1568, panguasaan Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke menantu Maulana Hasanudin Banten. Kemudian diserahkan pada Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Tahun 1610 ia menandatangani perjanjian dengan VOC. Belanda diizinkan membangun gudang kayu di pinggir pelabuhan.

Rupanya VOC berminat besar terhadap Pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa kali serangan dilancarkan ke jantung pertahanan Jayakarta yang berada di selatan Pasar Ikan. Akhirnya pada tahun 1619 Jayakarta dapat ditaklukkan. Mulai tanggal 30 Mei 1619 nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Masuklah zaman kolonial. Perdagangan semakin maju dengan dibangunnya pelabuhan berikut mercusuar dan galangan kapal.

Zaman kolonial harus berakhir dengan masuknya Jepang di Indonesia. Pada tahun 1942 nama Batavia diubah menjadi Jakarta. Sesudah Indonesia Merdeka, Sunda Kelapa ditetapkan untuk menamai kawasan pelabuhan mulai tahun 1974. Kini kawasan itu dikelola PT Pelindo II. Namun fungsinya sebatas untuk bongkar barang muatan dari dan ke luar Pulau Jawa.

Pilihan Jokowi menggunakan Pelabuhan Sunda Kelapa untuk menyurakan tekadnya mengembalikan kejayaan maritim Indonesia, nampaknya memang didasarkan pada bukti sejarah kejayaan pelabuhan tersebut. Sesuai dengan cita-cita Jayakarta Wijayakrama saat berkuasa.

Hugo M Satyapara

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya