Kamis, 04 Desember 2014

Perusahaan Ini Buat Peternakan Jangkrik hingga Camilan dari Jangkrik



Seorang wirausaha muda asal Kanada, Darren Goldin memiliki usaha peternakan bernama Next Millenium Farms. Tidak seperti kebanyakan peternakan, Darren dan dua saudara lelakinya berternak jangkrik untuk dikonsumsi.

Awalnya ia memberitahu ide ini dengan beberapa temannya, namun idenya dianggap cukup gila. Ibunya mendoakan agar dia sukses tetapi berjanji tidak akan pernah memakan produk yang dibuatnya.

Next Millenium Farms, satu-satunya peternakan jangkrik di Kanada, berlokasi di Campbellford, Ontario. Perusahaan ini sudah mulai beroperasi sekitar satu tahun.

Jangkrik-jangkrik diternak dalam sebuah tempat yang cekung dengan pencahayaan yang redup. Ada sekitar 30 juta ekor di sana, jangkrik betina menaruh 200 telur dalam satu waktu, dan setiap telur memerlukan 8 hingga 10 hari untuk dierami.

Darren Goldin sudah berpengalaman dalam berternak jangkrik untuk pakan hewan. Ia belajar dari sebuah artikel yang dibuat United Nation tentang proyeksi kurangnya bahan pangan.

Dalam laporan tersebut, serangga dianggap menjadi sumber pangan yang sehat dan bisa dijadikan alternatif vitamin bahkan setara dengan sumber protein pokok seperti daging ayam, daging sapi, dan ikan.

Darren melihat sebuah kesempatan dan ia tertarik untuk mencoba usaha berternak serangga. Pilihannya jatuh pada jangkrik.

“Setiap minggu kami mampu memproduksi 1000 hingga 2000 kg jangkrik mentah. Sekitar 80% produksi jangkrik kami diolah menjadi tepung jangkring berprotein tinggi. Kami menjualnya untuk beberapa perusahaan yang biasanya menggunakan tepung tersebut menjadi olahan seperti tortilla chips, muffin, dan sebagainya. Kami terus berusaha mempertahankan permintaan pasar.” ujarnya

Harga 500 gran tepung jangkrik $40 (Rp. 492.000). Jangkrik yang tersisa tetap kami olah menjadi snack dan dijual melalui website seperti 'Bug Bistro', snack jangkrik enak yang tersedia dalam tiga rasa: Moroccan, Honey Mustard, dan Barbacue.

Meningkatnya produksi serangga sebagai bahan pangan mampu meraih laba hingga US$25 juta di Amerika bagian utara, dan olahan jangkrik menempati penjualan tertinggi. Darren mengungkap permintaan meningkat pesat, Next Millenium Farms butuh waktu sekitar tiga bulan untuk memperoleh 100 pesanan pertama untuk tepung jangkrik saat peternakan tersebut dibuka, dan kini ia berhasil mencatat lebih dari 100 pesanan per bulan.

Darren mempekerjakan 8 orang pekerja full-time dan 5 orang pekerja paruh waktu. Mereka melakukan pekerjaan mulai dari pemrosesan daging hingga menjadi olahan.

Alasannya membuka peternakan jangkrik adalah untuk membantu lingkungan sekitar.

“Sumber daya di bumi ada untuk memproduksi makanan bagi populasi yang ada. Jika Anda memperhatikan sekitar, masih banyak daerah yang mengalami kekeringan dan kekurangan air. Sama halnya dengan pangan, di luar sana masih banyak terjadi kelaparan dan kurangnya bahan kuliner.” ujar Darren.

Jangkrik memerlukan bahan pangan sebanyak 1 kg untuk memproduksi 500 gram daging. Sedangkan hewan babi memerlukan pangan sebanyak 2,5 kg hanya untuk menghasilkan dagingnya sebanyak 500 gram. Sapi butuh 5 kg pakan untuk menghasilkan 500 gram daging sapi.

“Kemampuan kita dalam memproduksi sumber protein untuk memberi pangan di dunia akan jauh lebih luas jika kita bisa mengubah cara berternak,” tutur Darren seperti dikutip www.cbc.ca (29/11).

Serangga hanya membutuhkan kira-kira sepuluh takaran air sama halnya dengan ayam, sapi, dan babi untuk memproduksi jumlah protein yang sama.

Populasi di bumi semakin berkembang, dan kita tidak punya pilihan kecuali menemukan cara baru untuk memproduksi protein untuk menyokong jumlah protein yang diperlukan populasi di planet ini.

Christina Ambarrita - detikFood

Kamis, 27 November 2014

Simak Tahapan Berkarier sebagai "Chef" Profesional

Dulu profesi sebagai koki (chef) profesional kurang diminati, sekarang banyak generasi muda berlomba-lomba menjadi koki terbaik lewat pendidikan profesional yang mumpuni.

Meningkatnya popularitas profesi chef, tak bisa dimungkiri disebabkan oleh sejumlah tayangan masa memasak, tayangan kompetisi memasak, dan sebagainya di televisi.

Beberapa waktu lalu, Kompas Female berhasil mewawancara dua orang chef profesional, chef Vindex Tengker, Executive Chef di Dharmawangsa Hotel, dan Chef Stefu Santoso, Executive Chef di APREZ Catering & AMUZ Gourmet Restaurant.

Perlu Anda ketahui bahwa Executive Chef adalah jabatan atau level tertinggi dari karier seorang koki profesional.

Chef Stefu menjelaskan bahwa untuk menjadi seorang chef  berbakat dan andal, seseorang tidak harus sekolah khusus. Namun, secara umum biasanya chef berasal dari sekolah perhotelan atau culinary school. "Kalau zaman dahulu, orang akan masuk perhotelan, baru mereka memilih jurusan kitchen. Kemudian, mereka akan diberi kesempatan untuk praktek kerja di lapangan, biasanya enam bulan. Hal tersebut bertujuan untuk mahasiswa merasakan bekerja di industri kuliner," ujar Chef Stefu.

Untuk mencapai posisi Exceutive Chef, Stefu mengatakan bahwa tiap chef tentunya memiliki tahapan yang berbeda. Tergantung dari tempat chef tersebut bekerja.

Hal senada juga diungkapkan oleh Chef Vindex yang telah 25 tahun menjalani profesi sebagai koki profesional.  

"Untuk menjadi seorang chef diperlukan ketrampilan, kemampuan, disamping passion yang lebih karena sekarang saingan sangat banyak,” ujarnya.

Untuk menjadi chef profesionalchef Vindex mengatakan setiap orang harus memulai dari tingkat terbawah, dengan masing-masing tingkat menghabiskan waktu minimal dua tahun.

"Pertama masuk, biasanya seseorang akan menajdi cook helper, yakni yang membantu bagian potong memotong bahan masakan. Kemudian, akan masuk menjadi Chef de Partie atau juru masak senior, dilanjutkan dengan level chef yang manajerial yakni sous chef, masuk lagi menjadi level head chef, kemudian executive chef. Jadi, butuh waktu setidaknya 8 hingga 10 tahun. Itu pun bila kariernya lancar. Sebab, hotel tentunya memiliki banyak pekerja. Seseorang harus dapat sangat menonjol, " ujarnya.

Chef Vindex menyebutkan bahwa yang ia contohkan sebelumnya, bisa naik masing-masing tingkatan chef hanya dalam waktu 2 tahun, sebenarnya sudah sangat beruntung. Hal ini dibenarkan oleh Chef Stefu, "Hotel besar tingkatan kariernya akan semakin tinggi. Terkadang kita berada di properti yang tak tepat ketika terlalu ramai saingan dan tak ada kesempatan."

Chef Vindex sendiri menyarankan, bagi seorang yang ingin menjadi seorang chef profesional untuk pintar mengembangkan diri dalam bidangnya. “Penting bagi chef untuk terus belajar, menimba ilmu, melihat tren yang ada, eksposure diri, serta selalu siap untuk tantangan yang datang,” imbuh Vindex.

"Profesi chef sekarang sangat menjanjikan, tapi kembali lagi tergantung dari performa, reputasi, skill, maka otomatis orang akan menghargai kita dari sisi jabatan maupun gaji," terang Stefu.

Bersumber dari : female.kompas

Kamis, 20 November 2014

Aku Rapopo: Jokowi Berdiri Para Mantan Presiden Duduk

Sapta Pesona, karya Budi Barnabas
Para mantan Presiden Republik Indonesia (alm) Soekarno, (alm) Soeharto, BJ. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono sedang duduk melingkar, dan di luar area mantan presiden itu, Presiden Joko Widodo berdiri dengan posisi tangannya ngapurancang, sambil tersenyum.

Adegan tersebut merupakan visual dari karya seni rupa dalam bentuk patung yang diberi judul “Sapta Pesona’ karya Budi Barnabas yang dipamerkan pada 11-19 November 2014 di Bentara Budaya Yogyakarta, Jalan Suroto 2, Kotabaru. Selain karya ini, masih ada 3 karya patung lainnya yang dipamerkan.

Pameran seni rupa tiga dimensi dari kelompok ‘Buto Cakil” dengan menyajikan tiga karya rupa yang diberi tajuk ‘Aku Rapopo’, tampaknya merespon situasi politik negeri kita. Kisah Jokowi dan para mantan presiden yang sedang duduk adalah salah satu bentuk dari respon kultural dari situasi politik.

Mungkin, sambil tersenyum, Jokowi berbisik pada para mantan presiden bahwa dia ‘ora popo’ (tidak apa-apa) berada di luar mereka. Karena Jokowi akan mengambil langkah lain dari apa yang (sudah) mereka lakukan. Maka, pilihan Jokowi berada di luar area sambil berdiri, mungkin menandakan ia akan meninggalkan para mantan itu.

Sangkan Paran karya Martopo
Sedangkan ‘Sangkan Paran’ karya Martopo menyajikan visual seorang perempuan hamil sedang tidur. Mungkin hendak melahirkan. Posisi tidurnya melayang sehingga terlihat bahwa perempuan hamil tersebut tidak menyentuh tempat tidur. Antara tubuh dan tempat tidur ada jarak yang memisahkan.

Barangkali, melalui karya ini, perupanya hendak menyampaikan sesuatu hal mengenai kehidupan, yang memiliki jarak antara yang tampak dan tidak tampak, tetapi keduanya menyatu. Persis seperti bayi dalam kandungan, yang menyatu dengan ibunya, tetapi sesungguhnya berjarak: bayi dan kehidupan di luar kuasa perempuan yang mengandung.

Dalam kata lain, ‘Sangkan Paran’ berkisah mengenai misteri kehidupan yang tak pernah bisa dimasuki, tetapi orang selalu berusaha untuk mengenalinya, dan setiapkali akan memasukinya, selalu saja tak ada ruang yang bisa dimasuki. Karena itu, Martopo menyajikan karya dalam jarak antara manusia dan bumi.

Anak-anak Sapi karya Amboro Liring

Karya yang lain berjudul ‘Anak-anak Sapi’ oleh Amboro Liring, menyajikan seekor sapi dan anak-anak sedang menetek sapi. Jadi, anak-anak sapi yang disajikan bukan berupa pedhet, nama anak sapi, melainkan beberapa bocah yang akrab dengan seekor sapi. Agaknya, Amboro sedang berbisik, bahwa anak-anak zaman sekarang dibesarkan bukan dengan ASI, melainkan susu pabrik.

Pameran seni rupa tiga dimensi dengan tajuk ‘Aku Rapopo’ ini mencoba merespon gejala sosial politik tanpa heroisme, namun sangat artistik. Tak ada gejolak dan kemarahan, tetapi tidak sepi dari sindiran. Para perupa dari Kelompok ‘Buto Cakil’ ini tidak mengajak marah melihat gejala sosial politik yang ruwet, tapi malah mengajak tersenyum dan tidak menghilangkan sikap kritis.

Karya-karya yang dipamerkan ini sarat dengan kritik sosial, tetapi tidak jatuh dalam sinisme. Mengambil formula tema yang akrab dan dikenal luas, yakni ‘Aku Rapopo’ adalah upaya untuk menunjukkan bahwa permasalahan yang digulirkan merupakan milik kita bersama, termasuk misteri hidup pada “Sangkan Paran’.

Melalui karya seni kritik bisa disampaikan dengan penuh estetis dan orang akan merasa nyaman melihatnya serta tidak merasa diprovokasi dan ‘Aku Rapopo’ rasanya mengena dari segi itu.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Senin, 13 Oktober 2014

Bebek Bakar/Goreng Bumbu Melayu: Tidak Amis, Rendah Kolesterol



Menu bebek di dunia kuliner mungkin sudah bukan barang asing. Kuliner berbahan baku daging unggas yang senang hidup dekat air ini banyak ditampilkan dengan berbabagai variasi. Baik variasi dalam mengolah, memberi bumbu, maupun dalamn penampilan ketika disajikan. Dari semua hal itu, mungkin yang menjadi persoalan utama dalam olah-mengolah bebek adalah pada faktor bau amis, sedikit ”wengur” (apek-langu), dan kandungan lemaknya yang cukup banyak dibandingkan dengan daging ayam kampung. Faktor lemak dan bau amis/wengur bebek inilah yang sering menjadi kendala bagi para pengolah daging bebek.

Akan tetapi bagi Rumah Makan Bebek Bumbu Melayu hal ini tampaknya justru menjadi tantangan sekaligus peluang. Dengan mengandalkan 13 jenis rempah-rempah Rumah Makan Bumbu Melayu yang berpusat di Pekanbaru, Riau ini berani melangkahkan kaki membuka cabangnya di Jawa. Cabang-cabang Rumah Makan Bumbu Melayu di Jawa ini berada di Jl. Parangtritis Km 9, Sewon, Bantul, Yogyakarta. Cabang lainnya berada di Jl. Wonogiri-Sengon, batas kota Wonogiri, Jl. Yosodipuran 84, Mangkubumen, Surakarta, dan Jl. Fatmawati 37, Pedurungan, Semarang.

Kecuali mengandalkan bumbu rempah sebanyak 13 jenis, Rumah Makan Bebek Bumbu Melayu ini juga menawarkan paket-paket yang cukup murah. Paket yang cukup populer di rumah makan ini adalah Paket Q Beek yang berisikan nasi putih, lalapan, sambel melayu, dan minuman jus beras kencur. Paket Q Beek ini dibanderol dengan harga Rp 15.000,-.



Oleh karena paketnya cukup murah Tembi pun mencoba paket Q Beek ditambah dengan dua menu: Tempe Penyet dan Terong Penyet dengan harga untuk keduanya adalah Rp 8.000,-. Oh iya, Tembi masih minta tambahan segelas Air Putih untuk menetralkan rasa di lidah.

Ketika Tembi mencoba menyuwir ’mencabik’ daging paha atas bebek yang disajikan memang terasa cukup empuk. Demikian pun ketika dikunyah. Tembi mencoba mengendus aroma daging bebek yang disajikan; ternyata memang tidak amis/wengur. Rahasianya karena daging bebek telah direndam dalam 13 jenis rempah dalam waktu hampir semalaman. Perendaman dan perebusan daging dengan rempah semacam itu mampu meluruhkan kandungan lemaknya yang memang memberikan aroma amis/wengur khas bebek. Sekaligus juga dengan perendaman semacam itu kadar kolesterol yang cukup tinggi di dalam daging bebek ikut terluruhkan.

Dengan demikian daging yang disantap Tembi kelihatan tampil lebih langsing atau ringkes. Mungkin bisa pula dikatakan lebih atletis atau seksi. Tampilannya sungguh berbeda dengan daging ayam potong yang lazim dibuat menjadi ayam goreng ”fried chicken”. Ketika Tembi menyoba mencicip rasa daging bebek ini ternyata memang empuk. Sekalipun demikian tidak ”moprol” ’gampang hancur’. Tekstur daging bebeknya masih cukup terasa. Agak sulit menemukan faktor rempah apa yang cukup dominan dalam rasa daging bebek bumbu Melayu ini. Tampaknya semua unsur rempah memang menyatu. Hanya mungkin, unsur rasa manis dan sedikit asin yang padu dalam takaran yang cukup pas memang masih tetap mendominasi. Mungkin hal itu disebabkan oleh bumbu kecap, gula, dan garamnya.

Faktor lain yang cukup menonjol dalam suguhan ini adalah sambal Melayu-nya yang khas pedasnya. Pedasnya cukup sengit. Bagi yang tidak tahan pedas sebaiknya tidak buru-buru mencocol atau mencolek sambalnya dalam jumlah banyak karena lidah dan perut bisa minta ampun.



Untuk Tempe Penyetnya memang terkesan bersahaja. Namun sambalnya tetap melecut lidah. Mungkin yang agak tidak biasa bagi orang Jawa adalah Terong Penyetnya yang digoreng relatif cukup kering sehingga pinggiran terong yang diiris melintang tipis terasa krispi.

Jus beras kencurnya mungkin juga terasa istimewa karena jus kencur ini menggunakan sirup dan perasan jeruk nipis. Jadi, rasa dan aroma beras kencurnya terasa beda dengan beras kencur tradisional bikinan para bakul jamu. Jus beras kencur di sini terasa lebih asam dan aroma kencurnya terasa agak tenggelam oleh aroma sirupnya. Untuk lebih mengenal aneka masakan khas Nusantara tidak ada jeleknya mencoba mencicipi Bebek Bumbu Melayu yang dikomandoi oleh Andi Wijaya sejak 1988 ini.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Jumat, 19 September 2014

Bakso Kobis Dan Es Campur



Di Yogya mudah sekali menemukan warung yang menyediakan kuliner bakso. Bahkan bakso keliling, yang menjumpai atau mencari pembeli dengan masuk kampung keluar kampung dilakukan oleh penjual bakso. Kebanyakan warung bakso buka siang hari, setidaknya mulai jam 10 pagi sampai sore. Karena malam hari, biasanya, atau kebanyakan warung bakmi yang gampang dijumpai.

Ada warung bakso yang sudah memiliki pelanggan,atau setidaknya dikenal, sehingga warungnya sudah puluhan tahun melayani pelanggan, bahkan telah ditersukan oleh anaknya. Dalam kata lain, warung bakso diteruskan generasi kedua, karena generasi pertama, yang merintis warung bakso sudah meninggal. Maka, anaknya yang menggantikan, seperti warung bakso, yang namanya ‘Warung Bakso Kobis Pak Tris” di Kridosono, Yogyakarta.



‘Warung Bakso Kobis” ini sudah lama membuka warungnya di Kridosono, sekitar 30 tahun yang lalu. Dikenal sebagai bakso kobis, karena baksonya menyertakan kobis, selain tentu saja bakmi dan daging.

“Sejak saya belum lahir warung bakso ini sudah ada, dan diteruskan oleh anaknya” kata seorang anak muda yang melayani ‘kuliner Tembi”

“Kamu lahir tahun berapa?” tanya ‘kuliner Tembi’

“Tahun 1985” jawabnya

Di kompleks Kridosono, Kotabaru, Yogyakarta, ada sejumlah warung yang membuka dengan bermacam menu, seperti soto ayam kampung, soto sapi, lotek dan gado2, bakmi, es campur dan bakso kobis merupakan salah satu warung yang ada di kompleks ini. Masing-masing warung menggunakan satu kios yang terbuka, sehingga masing-masing warung saling terhubung. Orang bisa memesan bakso dan mengambil tempat duduk di warung soto, atau warung es, demikian pula sebaliknya. Duduk di warung bakso bisa memesan soto, lotek dan seterusnya. Pendek kata, warung di kompleks Kridosono, Kotabaru, Yogyakarta saling mengisi satu dengan lainnya.

Berulangkali ‘kuliner Tembi’ mampir di warung ‘Bakso Kobis Pak Tris’ dan pesannya selalu sama, bakso kuah dilengkapi nasi putih dan minumnya es campur buah, tetapi tanpa es, sehinggga menjadi minuman buah.

Kamis siang (9/8) lalu, “kuliner Tembi’ kembali mampir di warung ‘Bakso Kobis Pak Tris’ setelah cukup lama tidak mampir. Pesannya tidak berubah, bakso kuah, nasi putih dan minuman buah. Tiga pilihan itu, bagi ‘kuliner Tembi’ menyegarkan dan membuat kenyang. Yang menyegarkan minuman buahnya dan yang membuat kenyang bakso kuah disertai nasi. Rasa baksonya memang membuat orang ‘kangen’ untuk kembali. Harganya cukup, Rp 10.000 satu porsi. Es buahnya Rp 5.000, mungkin karena tidak dengan es. Kalau es campur buah Rp 6.000.



Es buahnya cukup lengkap, ada nangka, blewah, nanas, kelapa muda, papaya, camcau, tape ketan. apokat dan cendol. Rasanya, kalau disertai dengan es lebih nikmat. Karena ‘kuliner Tembi’ tidak minum es, maka pilihannya tanpa es, dan rasanya pun tidak kalah segar dengan yang dicampuri es.

Baksonya, kalau pesan komplit ada bakso goreng dan bakmi. Baksonya bulat cukup besar dan dagingya terasa. Campuran bakso dan irisan daging dan kuah bakso yang panas, ditambah sedikiit sambal, menjadikan ‘Bakso Kobis Pak Tris’ nikmat rasanya.

Kalau kebetulan sedang di Yogya, dan melewati kawasan Kotabaru, luangkan waktu untuk mampir di warung “Bakso Kobis Pak Tris’.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya


Minggu, 31 Agustus 2014

Tayub Selalu Hadir di Dukuhan Selepas Akhir Musim Hujan

Suasana tayuban di Dukuhan, Sendangagung, Minggir Sleman
Ada hal yang tidak boleh ditinggalkan dalam acara upacara kirab Ki Ageng Tunggul Wulung di Dukuhan, Sendangagung, Minggir, Sleman, Yogyakarta, yakni acara tayuban. Menurut Perno bin Sopermono, pemangku adat dan sesepuh dusun, tayuban disukai oleh Ki Ageng Tunggul Wulung di masa hidupnya. Ki Ageng Tunggul Wulung dianggap sebagai leluhur dan cikal bakal dusun tersebut. Karena itulah sosoknya sangat dihormati di wilayah tersebut.

Peringatan akan tokoh Ki Ageng Tunggul Wulung yang dilaksanakan dengan serangkaian acara itu dilakukan pada setiap habis masa panen rendhengan (akhir musim hujan) yang biasanya jatuh pada akhir bulan Juli-Agustus. Untuk tahun 2014 ini acara tersebut dilaksanakan pada hari Jumat, 22 Agustus selepas shalat Jumat. Acara itu dipandang sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, sekaligus bentuk permohonan kepada-Nya agar di waktu selanjutnya masyarakat tetap beroleh berkat kasih Tuhan sehingga dapat hidup tenteram dan makmur.

Para penari tayub, pengibing, dan tokoh masyarakat Dukuhan
Tayub sendiri menurut beberapa ahli berasal dari kata ditata kareben guyub (ditata supaya rukun). Ada pula yang menyatakan berasal dari kata mataya dan guyub. Mataya berarti tari dan guyub berarti rukun. Namun antropolog Prof Dr Poerbotjaroko menyatakan bahwa tayub berasal dari kata sayub yang artinya adalah minuman keras atau dapat juga berarti makanan yang sudah basi. Oleh karena itu tayub merupakan tarian yang berkaitan erat dengan minuman keras. Hal ini diduga berkaitan erat pula dengan budaya Tantrisme di masa lalu.

Tayub juga dipandang sebagai bentuk taru kesuburan, tari yang menceritakan atau menyimbolkan tentang meng-ada, bertumbuh, berbuah, dan kembali ke sangkan paraning dumadi (kembali ke tempat asal mula), yang juga diharapkan terjadi pada tanaman dan ternak. Bahkan pada harmonisasi alam semesta, kesehatan, dan kemakmuran lahir batin.

Penari tayub: Tiovani dan Sipe
Kesuburan dan kemakmuran adalah hal yang saling terkait. Tidak ada kesuburan berarti tidak ada kemakmuran. Kemakmuran juga berkait erat dengan kesehatan dan kesejahteraan. Oleh karenanya hal demikian selalu diharapkan ada dan terus meng-ada untuk keberlangsungan kehidupan itu sendiri.

Namun, orang awam lebih melihat tayub sebagai bentuk tari pergaulan semata, tidak melihat esensi lambang atau simbol yang tersirat di dalamnya. Bahwa unsur minman keras yang selalu mengiringi Tayub bukanlah diarahkan pada kenikmatan fisik (pengecapan) semata. Namun bahwa kondisi trance oleh minuman dipercaya sebagai salah satu cara orang berkomunikasi (ekstase) dengan hal yang tidak tampak oleh mata telanjang. Sekalipun demikian, tayub juga tidak meninggalkan keindahan sisi-sisi tari (koreografi) dan iringan musik (gamelannya).

Rubiyanti penari tayub sakral yang tidak boleh diibing/disertai penari pria
Tayuban di Dukuhan dalam rangka memperingati Ki Ageng Tunggul Wulung ini melibatkan 3 orang penari yakni Sipe, Tiovani, dan Rubiyanti. Mereka menarikan Tayub dengan sentuhan kekinian mengingat mereka memperoleh ilmu tari di bangku sekolah, di samping juga secara turun-temurun. Sementara para tandhak atau pengibing tayub memiliki keterampilan menandak di masa lalu secara turun-temurun atau bahkan otodidak.

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya

Sabtu, 02 Agustus 2014

Pelabuhan Sunda Kelapa Pernah Menjadi Poros Maritim

Salam tiga jari Persatuan Indonesia

Selepas ditetapkan oleh KPU menjadi Presiden RI terpilih untuk masa jabatan 2014-2019 pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2014, Joko Widodo langsung bergegas menuju anjungan Pelabuhan Sunda Kelapa. Secara simbolis ia meletakkan dasar perjuangan mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

“Semangat gotong royong itulah yang akan membuat bangsa Indonesia bukan saja akan sanggup dalam menghadapi tantangan, tapi juga dapat berkembang menjadi poros maritim dunia, locus dari peradaban besar politik masa depan kita,” ucap Jokowi di atas kapal Pinisi “Hati Buana Setia” didampingi Jusuf Kalla.

Semangat gotong royong itu menjadi penting. Oleh karena menurut Jokowi kesukarelaan telah lama mati suri. Kini coba dihadirkan dalam semangat baru dalam kerangka politik baru sebagai peristiwa kebudayaan.

"Dan inilah saatnya bergerak bersama, mulai sekarang petani kembali ke sawah, nelayan kembali melaut, anak-anak kita kembali ke sekolah, pedagang kembali ke pasar, buruh dan pekerja kembali ke pabrik, dan karyawan kembali bekerja di kantor. Lupakanlah nomor 1 lupakanlah nomor 2, marilah kita kembali ke Indonesia yang satu, Indonesia Raya. Kita kuat karena bersatu, kita bersatu karena kita kuat. Salam tiga jari salam persatuan Indonesia,” imbuhnya.

Pemilihan lokasi Pelabuhan Sunda Kelapa tentu beralasan. Saat dalam perjalanan di atas speed boat Jokowi menegaskan bahwa Pelabuhan Sunda Kelapa merupakan simbol dari upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Memang pada masa lalu Pelabuhan Sunda Kelapa yang dikenal dengan sebutan Bandar Empat Zaman memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia: zaman Hindhu, Islam, kolonial, dan Indonesia merdeka.
Aktivitas jual beli hasil bumi terutama berupa rempah-rempah hilir mudik di muara pelabuhan yang pada zaman Tarumanegara abad V disebut Sundapura, yang artinya pintu masuk. Ya pintu masuk kerajaan Tarumanegara yang dulu pernah membuat sungai buatan Bhagasasi untuk mengairi sawah warga sekaligus sarana transportasi dari pedalaman menuju muara samudera.

Saat Sunda Pajajaran abad XIII dipegang Hyang Surawisesa keberadaan pelabuhan Calapa dikukuhkan dengan ditandatanginya perjanjian dagang antara Pajajaran dan Portugis. Dimaklumkan perjanjian itu dalam Prasasti Padrao bertanggal 15 Agustus 1522. Keberadaan pelabuhan tambah ramai dengan datangnya para pedagang dari Tiongkok, Jepang, India dan bahkan dari Timur Tengah.

Perjanjian itu rupanya membuat gusar penguasa Demak. Maka diutuslah pasukan bersama-sama dengan Cirebon untuk menguasai Sunda Kelapa. Setelah melalui berbagai serangan akhirnya Fatahillah berhasil menguasai Sunda Kelapa pada tahun 1526. Tercatat 3.000 rumah rusak. Syahbandar Wak Item beserta puluhan pegawai pelabuhan tewas.

Prasasti Padrao
Nama Sunda Kelapa kemudian diganti dengan Jayakarta pada tanggal 22 Juni 1527. Fatahillah tercatat sebagai penguasa pertama. Saat itu Sunda Kelapa dibawah hegemoni Cirebon. Tahun 1568, panguasaan Jayakarta diserahkan kepada Tubagus Angke menantu Maulana Hasanudin Banten. Kemudian diserahkan pada Pangeran Jayakarta Wijayakrama. Tahun 1610 ia menandatangani perjanjian dengan VOC. Belanda diizinkan membangun gudang kayu di pinggir pelabuhan.

Rupanya VOC berminat besar terhadap Pelabuhan Sunda Kelapa. Beberapa kali serangan dilancarkan ke jantung pertahanan Jayakarta yang berada di selatan Pasar Ikan. Akhirnya pada tahun 1619 Jayakarta dapat ditaklukkan. Mulai tanggal 30 Mei 1619 nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Masuklah zaman kolonial. Perdagangan semakin maju dengan dibangunnya pelabuhan berikut mercusuar dan galangan kapal.

Zaman kolonial harus berakhir dengan masuknya Jepang di Indonesia. Pada tahun 1942 nama Batavia diubah menjadi Jakarta. Sesudah Indonesia Merdeka, Sunda Kelapa ditetapkan untuk menamai kawasan pelabuhan mulai tahun 1974. Kini kawasan itu dikelola PT Pelindo II. Namun fungsinya sebatas untuk bongkar barang muatan dari dan ke luar Pulau Jawa.

Pilihan Jokowi menggunakan Pelabuhan Sunda Kelapa untuk menyurakan tekadnya mengembalikan kejayaan maritim Indonesia, nampaknya memang didasarkan pada bukti sejarah kejayaan pelabuhan tersebut. Sesuai dengan cita-cita Jayakarta Wijayakrama saat berkuasa.

Hugo M Satyapara

Bersumber dari : Tembi Rumah Budaya